PULUHAN wanita yang mayoritas paruh baya, tampak sibuk bekerja di ruangan besar sebuah pabrik berarisitek Belanda di bilangan Jalan Diponegoro 27 Temanggung.
Di antaranya, terlihat tengah memilah rajangan daun tembakau kering dan memindahkannya, dari kotak kayu ke keranjang besar.
Sementara, di ruang lain wanita sepuh bernama Dariyah yang usianya sudah lebih dari setengah abad, tengah serius menyortir lembaran daun tembakau, kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran. Tak jauh dari tempat Dariyah bekerja, dua wanita berusia sekitar 40-an tahun, tak kalah serius mengepres rajangan tembakau dipadu dengan lembaran daun tembakau utuh menggunakan mesin manual.
Sejurus kemudian terbentuklah benda bulat panjang berwarna cokelat, yang masing-masing sisinya tumpul. Diameternya seukuran jempol laki-laki dewasa dengan panjang sekitar delapan sampai 12 centimeter. Orang lazim menyebutnya cerutu.
Ya, itulah rutinitas sehari-hari di Pabrik Cerutu Rizona. Pabrik itu berdiri pada 1908 dan merupakan salah satu pabrik cerutu tertua di Indonesia. Mulyadi Hartono, pemilik pabrik cerutu satu-satunya di kota tembakau Temanggung adalah generasi ketiga sejak Rizona berdiri pada zaman kolonial Belanda. Dialah pewaris tahta dari almarhum ayahnya, Sunardi Hartono. Pendirinya adalah kakek Mulyadi, yang bernama Kwee Tjong An.
Pabrik yang telah berusia lebih dari satu abad ini, tentunya pernah mengalami berbagai masa mulai dari perintisan, kejayaan, hingga masa surut. Kini, meski masih berdenyut namun sepertinya pangsa pasarnya sudah tak sebesar pada zaman keemasan dulu sekitar tahun 1942, di mana cerutu Rizona mampu menembus pangsa pasar luar negeri.
Keadaan tersebut dapatlah dimaklumi, sebab bisnis cerutu sekarang telah tersalib oleh suburnya bisnis rokok di Tanah Air. Oleh karena itu dapat ditebak konsumennya pun lambat laun mulai berkurang.
Kendati demikian, Mulyadi Hartono tetap setia mempertahankan Rizona. Baginya cerutu Rizona harus tetap ada, sebab bukan hanya mindset bisnis semata, akan tetapi ada sepenggal sejarah yang harus dipertahankan. Sampai-sampai peralatan pabrik pun tetap memakai alat manual persis seperti saat kali pertama pabrik berdiri.
Sejalan dengan kondisi pabrik, hingga sekarang peralatan kuno masih terpelihara baik, dapat dipakai dan meski landai tapi tetap berproduksi. Rizona tetap bergeming, meksi terus digempur oleh industri rokok. Ketenangan Mulyadi karena cerutu Rizona punya pangsa pasarnya sendiri.
Rizona memproduksi tiga merek cerutu, yakni New Kenner King Extra yang dipatok dengan harga Rp 25.000 per kotak (berisi 20 batang). Kedua, New Kenner Bolero, harganya Rp 20.000 per kotak (berisi 20 batang). Adapun merek New Havana Extra Fine per kotak berisi 30 batang cerutu, harganya Rp 25.000.
Saat ini produksinya mencapai 5 juta batang per tahun. Setiap harinya Rizona rata-rata mampu meproduksi 3.000 batang cerutu. Semuanya diproses dari awal hingga finshing di tempat yang sama.
Melihat perkembangan pasar, sama seperti lazimnya bisnis apa saja dan di mana saja, pasti ada pasang surutnya. Rizona pernah mengalami pahit getir pertarungan bisnis cerutu.
Kukuh Raharjo, pengelola pabrik ini menuturkan, zaman keemasan Rizona dicapai pada 1942, di mana karyawan mencapi 300-500 orang. Bahkan bahan baku tembakau krosok didatangkan dari Filipina. Kala itu, penjualannya sampai ke luar negeri, menembus negara-negara Asia dan Eropa. Di dalam negeri, konsumennya adalah para pejabat dan bangsawan di Temanggung dan daerah lain.
”Kalau sekarang pemasaran kebanyakan cuma di dalam negeri, sesekali ke Taiwan dan omzet bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Cerutu dikirim ke Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, Teluk Betung, Surabaya, dan beberapa kota di sekitar Jabar dan Jatim. Itu pun berdasarkan order dan tidak setiap hari ada, ”kata Kukuh.
Adapun bahan baku justru tidak berasal dar tembakau lokal, meski Temanggung sendiri merupakan kota penghasil tembakau nomor wahid di Indonesia. Untuk cerutu Rizona mendatangkan daun tembakau dari Jember, sebab ukurannya lebih tipis dan lebar, sehingga lebih bagus dibuat cerutu.
Melihat proses pembuatan cerutu, hampir sama dengan cara membuat rokok. Hanya saja bahan bakunya sedikit berbeda, karena lebih praktis, yakni menggunakan tembakau rajangan dan daun tembakau lembaran sebagai kulit pembungkus.
Lalu bagaiamana dengan cukai dan kadar nikotin pada cerutu? Untuk cukai, kata Kukuh, memang ada, kendati demikian dia mengaku tak mengetahui secara pasti klasifikasi standarnya. Kadar nikotin cerutu menurutnya, sampai sekarang belum ada klasifikasi layaknya rokok pada umumnya.
Kukuh mengatakan, cerutu Rizona memilki keunggulan pada cita rasa atau aromanya yang khas. Tembakaunya mantap, dan mungkin sesuai dengan lidah orang Indonesia. Selain rasa, ciri khas dari cerutu Rizona adalah pada label yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga sekarang.
Ya, berbicara lebih jauh tentang pabrik cerutu Rizona memang unik, sebab pengelolaannya terasa nyentrik. Betapa tidak ? Pasalnya, sang pemilik hingga saat ini tetap mempertahankan pekerja tuanya yang mayoritas kaum hawa asli Temanggung. Sekitar 35 orang karyawan Rizona didominasi wanita. Alasannya, cukup masuk akal, karena wanita dinilai lebih telaten saat harus menggulung cerutu ketimbang laki-laki. (47)
Di antaranya, terlihat tengah memilah rajangan daun tembakau kering dan memindahkannya, dari kotak kayu ke keranjang besar.
Sementara, di ruang lain wanita sepuh bernama Dariyah yang usianya sudah lebih dari setengah abad, tengah serius menyortir lembaran daun tembakau, kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran. Tak jauh dari tempat Dariyah bekerja, dua wanita berusia sekitar 40-an tahun, tak kalah serius mengepres rajangan tembakau dipadu dengan lembaran daun tembakau utuh menggunakan mesin manual.
Sejurus kemudian terbentuklah benda bulat panjang berwarna cokelat, yang masing-masing sisinya tumpul. Diameternya seukuran jempol laki-laki dewasa dengan panjang sekitar delapan sampai 12 centimeter. Orang lazim menyebutnya cerutu.
Ya, itulah rutinitas sehari-hari di Pabrik Cerutu Rizona. Pabrik itu berdiri pada 1908 dan merupakan salah satu pabrik cerutu tertua di Indonesia. Mulyadi Hartono, pemilik pabrik cerutu satu-satunya di kota tembakau Temanggung adalah generasi ketiga sejak Rizona berdiri pada zaman kolonial Belanda. Dialah pewaris tahta dari almarhum ayahnya, Sunardi Hartono. Pendirinya adalah kakek Mulyadi, yang bernama Kwee Tjong An.
Pabrik yang telah berusia lebih dari satu abad ini, tentunya pernah mengalami berbagai masa mulai dari perintisan, kejayaan, hingga masa surut. Kini, meski masih berdenyut namun sepertinya pangsa pasarnya sudah tak sebesar pada zaman keemasan dulu sekitar tahun 1942, di mana cerutu Rizona mampu menembus pangsa pasar luar negeri.
Keadaan tersebut dapatlah dimaklumi, sebab bisnis cerutu sekarang telah tersalib oleh suburnya bisnis rokok di Tanah Air. Oleh karena itu dapat ditebak konsumennya pun lambat laun mulai berkurang.
Kendati demikian, Mulyadi Hartono tetap setia mempertahankan Rizona. Baginya cerutu Rizona harus tetap ada, sebab bukan hanya mindset bisnis semata, akan tetapi ada sepenggal sejarah yang harus dipertahankan. Sampai-sampai peralatan pabrik pun tetap memakai alat manual persis seperti saat kali pertama pabrik berdiri.
Sejalan dengan kondisi pabrik, hingga sekarang peralatan kuno masih terpelihara baik, dapat dipakai dan meski landai tapi tetap berproduksi. Rizona tetap bergeming, meksi terus digempur oleh industri rokok. Ketenangan Mulyadi karena cerutu Rizona punya pangsa pasarnya sendiri.
Mau uang gratis ? Klik Disini !
Tiga MerekRizona memproduksi tiga merek cerutu, yakni New Kenner King Extra yang dipatok dengan harga Rp 25.000 per kotak (berisi 20 batang). Kedua, New Kenner Bolero, harganya Rp 20.000 per kotak (berisi 20 batang). Adapun merek New Havana Extra Fine per kotak berisi 30 batang cerutu, harganya Rp 25.000.
Saat ini produksinya mencapai 5 juta batang per tahun. Setiap harinya Rizona rata-rata mampu meproduksi 3.000 batang cerutu. Semuanya diproses dari awal hingga finshing di tempat yang sama.
Melihat perkembangan pasar, sama seperti lazimnya bisnis apa saja dan di mana saja, pasti ada pasang surutnya. Rizona pernah mengalami pahit getir pertarungan bisnis cerutu.
Kukuh Raharjo, pengelola pabrik ini menuturkan, zaman keemasan Rizona dicapai pada 1942, di mana karyawan mencapi 300-500 orang. Bahkan bahan baku tembakau krosok didatangkan dari Filipina. Kala itu, penjualannya sampai ke luar negeri, menembus negara-negara Asia dan Eropa. Di dalam negeri, konsumennya adalah para pejabat dan bangsawan di Temanggung dan daerah lain.
”Kalau sekarang pemasaran kebanyakan cuma di dalam negeri, sesekali ke Taiwan dan omzet bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Cerutu dikirim ke Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, Teluk Betung, Surabaya, dan beberapa kota di sekitar Jabar dan Jatim. Itu pun berdasarkan order dan tidak setiap hari ada, ”kata Kukuh.
Adapun bahan baku justru tidak berasal dar tembakau lokal, meski Temanggung sendiri merupakan kota penghasil tembakau nomor wahid di Indonesia. Untuk cerutu Rizona mendatangkan daun tembakau dari Jember, sebab ukurannya lebih tipis dan lebar, sehingga lebih bagus dibuat cerutu.
Melihat proses pembuatan cerutu, hampir sama dengan cara membuat rokok. Hanya saja bahan bakunya sedikit berbeda, karena lebih praktis, yakni menggunakan tembakau rajangan dan daun tembakau lembaran sebagai kulit pembungkus.
Lalu bagaiamana dengan cukai dan kadar nikotin pada cerutu? Untuk cukai, kata Kukuh, memang ada, kendati demikian dia mengaku tak mengetahui secara pasti klasifikasi standarnya. Kadar nikotin cerutu menurutnya, sampai sekarang belum ada klasifikasi layaknya rokok pada umumnya.
Kukuh mengatakan, cerutu Rizona memilki keunggulan pada cita rasa atau aromanya yang khas. Tembakaunya mantap, dan mungkin sesuai dengan lidah orang Indonesia. Selain rasa, ciri khas dari cerutu Rizona adalah pada label yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga sekarang.
Ya, berbicara lebih jauh tentang pabrik cerutu Rizona memang unik, sebab pengelolaannya terasa nyentrik. Betapa tidak ? Pasalnya, sang pemilik hingga saat ini tetap mempertahankan pekerja tuanya yang mayoritas kaum hawa asli Temanggung. Sekitar 35 orang karyawan Rizona didominasi wanita. Alasannya, cukup masuk akal, karena wanita dinilai lebih telaten saat harus menggulung cerutu ketimbang laki-laki. (47)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar